Thursday, October 8, 2009

SENI RUPA

Mencari Estetika Dalam Budaya Rupa Sunda


Mungkinkah kita dapat mencari dan menemukan konsep keindahan atau katakanlah
estetika dalam budaya rupa (visual culture) Sunda? Berdasarkan tujuh ciri
universal kebudayaan Koentjaraningat yang legendaris itu, yang salah satunya
kesenian, tentu pertanyaan itu bisa dijawab sangat mungkin. Karena kesenian
dalam berbagai bentuknya ada dalam kebudayaan Sunda dan konsep keindahan
atau katakanlah estetika merupakan rohnya kesenian.

Upaya yang dapat dilakukan salah satunya berupa penelusuran ke bentuk atau
artefak budaya rupa hasil karya manusia Sunda zaman bihari, kemarin, dan
sekarang, kemudian dicari latar dan makna atau konsep keindahan yang
membentuk artefak tersebut. Gambaran masyarakat masa lalu termasuk konsep
keindahan dapat ditelusuri pada naskah Sunda Kuno yang telah dialihaksara
dan dialihbahasa oleh ahlinya, mulai dari KF Holle, CM Pleyte, dan J.
Noordyun sampai Drs Atja, Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Edi S. Ekadjati,
Tien Wartini, dan Undang Ahmad Darsa.

Cara lainnya adalah dengan menelusuri budaya lisan dalam bentuk babasan dan
paribasa.

Naskah Sunda Kuno

Dalam Sewaka Darma dan Sanghyang Siksakandang Karesian (SSKK) (Saleh
Danasasmita, dkk, 1987) dan Kropak 420 (Undang A. Darsa, Edi S. Ekadjati,
2006) ditemukan berbagai kata yang mengacu pada kata indah dan keindahan
dalam berbagai konteks. Misalnya dalam Sewaka Darma (lempir 35) ditemukan
kalimat tempat yang diperindah yaitu taman dengan cara membuat komposisi
dari berbagai jenis tanaman yang masing-masing memiliki ciri khas seperti
warna, bentuk bunga, dan ketinggian yang beragam.

Dalam SSKK (lempir III dan IV) terdapat warna putih, merah, warna terang,
kunin dan hitam yang dipakai sebagai simbol mata angin tempat kediaman dewa.
Juga ditemukan pemahaman terhadap makna garis berkelok lembut atau lengkung
(garis organis) dan garis lurus yang menggambarkan kondisi kehidupan yang
mengalir mulus. Dalam SSKK ini pula terdapat berbagai sebutan pertukangan
serta karyanya. Dalam seni ukir, dikenal model naga-nagaan, barong-barongan,
ukiran burung, ukiran kera, dan ukiran singa. Ahlinya disebut Maranggi.
Dalam seni lukis, dikenal model pupunjengan, hihinggulan, kekembangan,
alas-alasan, urang-urangan, memetahan, sisirangan, taruk hata, kembang
teratai. Juga dalam seni batik, pandai besi yang masing-masing lengkap
beserta berbagai sebutan model, bentuk atau motif. Tinggal dicari arti
setiap istilah ke dalam pengertian sekarang. Dalam seni lukis, misalnya,
dikenal model urang-urangan, bila "urang" dipahami "orang", maka itu artinya
lukisan dengan objek berupa manusia.

Dalam Sewaka Darma (lempir 56-57) ditemukan konsep keindahan dalam konteks
metafisika yaitu tentang kematian sebagai bentuk yang sempurna. Sedang pada
lempir 63 terdapat gambaran rumah yang indah yang digambarkan dengan
serbakencana, bersinar semarak seperti bintang timur, seperti bulan sedang
purnama dan segar seperti hari cerah sehabis hujan. Penggambaran istana
kahyangan (lempir ke 51, 52 dan 53) tampak sangat rinci menceritakan
konstruksi bangunan dan material yang dipakai. Misalnya istana Batara Isora
di Timur, bahannya serbaperak, tiang dari bahan perak berukir, atap perak
cina, bubungan perak berlinggakan permata, lantai perak malaka dan dinding
perak keling. Gambaran yang imajinatif ini tentu untuk mencitrakan
kesempurnaan hunian para dewa dan hyang.

Tradisi lisan

Dalam seni rupa dan desain terdapat tiga bentuk dasar yaitu segiempat,
lingkaran, dan segitiga. Uniknya, dalam babasan dan paribasa terdapat
beberapa ungkapan yang menggunakan bentuk atau rupa dasar tersebut yang
dipakai sebagai simbol suatu kondisi atau sifat sempurna. Misalnya "Hirup
kudu masagi" (Hidup harus berbentuk persegi) menggunakan bentuk pasagi
(persegi, bujursangkar), "Niat kudu buleud" (niat harus bulat) menggunakan
bentuk lingkaran, "bale nyungcung" atau Buana Nyuncung (tempat para dewa dan
hyang dalam kosmologi masyarakat Kanekes, menunjuk pada bentuk dasar
segitiga. Bale nyungcung adalah sebutan untuk bangunan suci yang dalam Islam
adalah masjid yang dahulu beratap tropis model gunungan bertumpuk dengan
puncak berbentuk atap limas yang disusun dari empat bentuk segitiga.

Masing-masing bentuk tersebut memiliki makna yang sama yaitu kesempurnaan,
tetapi dalam bentuk yang berbeda. Persegi menunjuk pada tindakan atau
kelakuan yang seimbang dalam berbagai sisi kehidupan, bulat sebagai simbol
ideologis, keimanan atau keyakinan dan segitiga menunjuk pada tempat yang
sempurna atau suci.

Prinsip komposisi estetik yang pertama ditemukan menurut Herbert Read adalah
simetri. Konsep bentuk simetri memang terdapat di alam, pada bentuk makhluk
bergerak seperti manusia, hewan, unggas, ikan, dan lain-lain. Ciri simetri
adalah apabila suatu objek dibuat garis vertikal di bagian tengahnya, maka
garis itu akan membagi objek ke dalam dua bagian yang sama. Dalam tradisi
lisan Sunda terdapat ungkapan "siger tengah" untuk menunjuk sikap moderat.
Secara rupa, ungkapan ini menunjuk adanya dua sisi sehingga tercipta bagian
tengah yang membentuk simetri. Berada di tengah berarti dalam posisi
berimbang terhadap sisi kiri dan kanan. Bila netral diartikan tidak memihak
(berada di luar dua pihak), siger tengah memihak pada bagian terbaik dari
kedua sisi yaitu bagian yang paling dekat ke tengah yang dapat dimaknai
sebagai bagian yang paling akomodatif.

Artefak budaya hunian

Gambaran artefak budaya hunian Sunda bihari terdapat dalam naskah Sunda Kuno
dan inkripsi pada prasasti seperti Batutulis Bogor dan laporan Tome Pires.
Pires, seorang pelaut Portugis yang sekitar tahun 1513 tiba di pelabuhan
Sundakalapa, meskipun singkat tapi cukup memberi gambaran sekaligus
konfirmasi terhadap keterangan dari naskah Sunda Kuno mengenai adanya
bangunan keraton Pakuan Pajajaran. Laporan Pires menunjukkan adanya bangunan
yang indah dengan atap dari ijuk atau rumbia (palm leaf) dan kayu. Kediaman
raja memiliki 330 pilar kayu setebal tong anggur dengan tinggi lima depa
dengan pekerjaan kayu (ukiran) yang indah pada bagian atas pilar. Laporan
Pires yang sampai menjelaskan jumlah pilar, tampaknya berdasarkan model
bangunan antik Barat yang dicirikan dengan bentuk pilar (kolom) dengan model
masing-masing yang khas seperti Dorik, Ionik, Tuskan, dan Korintian.

Sementara itu, budaya hunian Sunda kemarin dapat dilihat pada berbagai rumah
dan kampung adat atau vernakular yang tersebar di seluruh Jawa Barat dan
Banten. Disebut kemarin karena membawa konsep zaman bihari misalnya
kosmologi. Di kampung adat, bangunan tidak boleh menggunakan material yang
berbahan tanah karena tanah adalah dunia bawah atau buana larang, tempat
untuk orang yang telah mati.

Material vernakular seperti ijuk atau nipah untuk atap, anyaman bambu untuk
dinding seperti yang terdapat di rumah kampung adat, dalam kebudayan
kontemporer dipakai sebagai identitas lokal.

Kebudayaan Sunda dan Indonesia secara umum pernah terinterupsi dalam waktu
yang cukup lama yaitu pada masa kolonialisasi Belanda. Menjadi wajar adanya
percampuran budaya Barat dan lokal karena hal itu telah berlangsung jauh
sebelumnya. Paling tidak sejak orang India datang membawa agama Hindu,
Buddha, lalu orang Arab atau India membawa Islam. Selain menyebarkan agama,
mereka juga membawa serta kebudayaan India dan atau Timur Tengah --hal yang
juga dilakukan Belanda pada masa kolonial. Pengaruh kolonialisasi ini lalu
dominan pada perkembangan tata kota, arsitektur, dan kesenian secara umum
dan menjadi landasan model pembangunan budaya rupa ketika Indonesia merdeka.

Uniknya, dalam perjalanan waktu, masih ada di sana-sini berbagai kampung
adat atau kampung budaya lokal yang masih memberikan gambaran budaya rupa
pada masa lalu. Sementara itu, transformasi budaya juga terjadi dengan
bentuknya yang unik termasuk alih fungsi artefak budaya. Aseupan (kukusan)
yang semula perabot untuk menanak nasi dibawa ke kota untuk dijadikan kap
lampu di kafe-kafe!***

Jamaludin Wiartakusumah
Mahasiswa Program Ilmu Seni Rupa dan Desain ITB, Dosen Desain Interior
Itenas .

dikutip dari :http://www.mail-archive.com/urangsunda@yahoogroups.com/msg66442.html